Rabu, 25 Maret 2009
Rahasia Kemenangan
Andree, M.A.
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
(Qs. Al Baqarah:249)
Jumadil Ula, tahun 8 Hijriyah. Perang Mu’tah akan segera meletus. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu telah siaga di posisi tempurnya. Dari kejauhan, sahabat mulia perawi ribuan hadits ini melihat gumpalan kabut, pertanda semakin dekatnya pasukan musyrikin. Kumpulan noktah itu kian lama kian dekat, hingga sampai pada suatu titik pandang, di mana Abu Hurairah dapat melihat dengan jelas pasukan yang akan mereka hadapi di hari bersejarah tersebut. Sungguh menggentarkan pasukan itu, begitu besar jumlah tentaranya, bersenjata lengkap, bertameng, serta mengenakan pakaian sutera dan emas. Abu Hurairah terpana. Sebagai sahabat yang belum akrab dengan situasi perang, wajar saja ia tertegun demikian. Matanya membelalak melihat pawai agung pasukan laknat tersebut. Di tengah pengaruh deterensi yang menggelayuti pikiran Abu Hurairah, terdengar sapaan lembut dari seorang Ahli Badar, Tsabit bin Arqam radhiyallahu’anhu. “Ya, Aba Hurairah, kaannaka tara jumu’an katsirah?” (Duhai Abu Hurairah, tampaknya engkau sedang melihat pasukan yang besar?). “Benar”, jawabnya. Tsabit tersenyum, sedetik kemudian ia mengajarkan kepada juniornya tersebut sebuah fakta sejarah, ”Engkau tidak bergabung bersama kami di perang Badar. Kami menang pada saat itu bukan karena jumlah kami yang banyak”(Ibn Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, juz 4 hal.241). Maka terlepaslah mata itu dari ketakjuban semu akan kebesaran musuh. Hilanglah belenggu yang menggelayuti akal dan perasaan yang cenderung mengkalkulasi kemenangan dari aspek material. Bagi kaum mukminin, kemenangan tak ada urusannya degan kekuatan musuh. Kelemahan dirilah yang sesungguhnya menjadi akar kekalahan.
Maka spirit itu pula yang mengemuka dalam sariyah (perang yang tidak disertai langsung oleh Rasulullah SAW) yang oleh para penulis sirah tetap saja disebut dengan ghazwah, karena besarya jumlah pasukan Muslimin yang turut serta di dalamnya. Tiga ribu Jundullah merangsek menyerbu 200 ribu pasukan musyrikin yang di-endorse oleh Romawi. Sungguh agresif, seolah tak sabar mereka menjemput surga. Tiga panglima gugur sebagai syuhada. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi thalib, hingga Abdullah bin Rawahah, radhiyallahu’anhum ajma’in. Kemudian saifullah Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu mengambil alih pasukan. Ia dengan bijak memimpin para sahabat untuk memukul mundur pasukan musuh dan menggiring pulang laskar mujahidin, sehingga perang itu hanya mengorbankan belasan syuhada. Bukan buatan dahsyatnya perang, sekurangnya dapat tergambar dari lisan Khalid, “Telah patah sembilan pedang di tanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman” (HR.Bukhari, 4265-4266). Demikianlah, para sahabat telah mempetontonkan jutaan keajaiban di panggung sejarah. Bahkan, Ahmad bin Marwan al Maliky mencatat bahwa tak ada musuh yang sanggup bertahan lama menghadapi para sahabat (Al Kandahlawy, Mukhtashar Hayatush Shahabah, hal.382).
Di kemudian hari, ketika Heraklius tiba di Anthiokia setelah pasukan Romawi diklahkan kaum Muslimin di lembah Yarmuk, ia bertanya, “Kabarkan padaku perihal musuh kalian di dalam peperangan, tidakkah mereka manusia juga seperti kalian?”. Mereka menjawab, “ya”. “Siapakah yang lebih banyak jumlahnya, kalian atau mereka?”. “Di tiap pertempuran, kamilah yang selalu lebih banyak”. Heraklius heran bercampur geram, “lalu mengapa kalian kalah?”. Salah seorang prajurit senior kemudian menjawab, “Karena mereka biasa shalat di malam hari, berpuasa pada siangnya, menepati janji, menyuruh kepada kebajikan, mencegah kemungkaran dan saling berbuat adil di antara sesamanya. Sementara kami suka meminum arak, berzina, melakukan kenistaan, melanggar janji, mudah marah, berbuat semena-mena, menyulut kebencian, melarang hal-hal yang diridhoi Tuhan dan merusak di muka bumi”. Heraklius tertegun lalu berkata, “Sekarang aku paham….” (Al Bidayah wa An Nihayah, juz 7 hal.15-16).