Sabtu, 07 Februari 2009
Beyond Fiqh
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Fathir: 32)
Sungguh kreatif kerja sekelompok santri yang duduk melingkar, mengedarkan dua setengah kilogram beras di antara mereka untuk menebus kewajiban zakat fitrah. Santri pertama menyerahkan beras tersebut kepada kawannya. Si mustahiq ini dalam beberapa detik kemudian berubah menjadi muzakki yang memberikan zakat kepada orang ketiga. Begitu seterusnya, hingga beras itu kembali kepada santri pertama. Selesailah sudah kewajiban zakat untuk sepuluh orang dengan modal sepuluh ribu rupiah.
Selalu saja ada celah dalam hukum (fiqh) yang menjadi ruang bagi ‘kreativitas’ dan akal bulus kaum pencinta kemudahan. Bukan karena Sang Pencipta hukum itu lemah atau lalai, sehingga menyisakan celah-celah kecil tempat bersemainya bibit kemunafikan itu, namun inilah mihnah, ujian keimanan. Dari milestone inilah kemudian manusia terbagi menjadi beberapa golongan; penganiaya diri sendiri (dzhalimun linafsihi), kelompok antara (muqtashid) dan para penghulu kebaikan (saabiqun bil khairaat).
Kelompok pertama adalah para pemuja hawa nafsu. Hatinya tak setitik jua mengandung noktah ketaatan, logikanya adalah logika pembangkangan, strateginya adalah keculasan. Maka aturan langit pun menjadi sesuatu yang dianggap profan sehingga dengan mudahnya diputarbalikkan. Lihatlah para budak syahwat ini berdalil dengan fasihnya bahwa menutup aurat adalah setakat budaya, bahwa tak mengapa berzina asal menggunakan kondom hingga tak bersentuhan kulit khatan, atau soal halalnya alkohol di suasana chilly. Mereka juga yang berargumen betapa mengharamkan rokok adalah gerbang kehancuran ekonomi bangsa. Lupakah mereka bahwa kerugian bangsa ini oleh erosi kesehatan yang diakibatkan benda haram sembilan senti itu bisa berpuluh kali lipat nominalnya? Orang-orang ini, entah dari persilangan genetik yang mana, telah mewarisi darah Yahudi yang dahulu mencoba mengakali Allah tentang larangan hari Sabat, dengan memasang jaring keramba di hari Jum’at. Inilah kelompok penganiaya diri, menukarkan kesenangan sesaat dengan siksaan yang abadi.
Kelompok kedua adalah generasi serba tanggung, shalih tidak, thalih juga tidak. Sesekali mereka berbuat dosa dan menabrak aturan, sesaat kemudian tertegun, lalu menangis menyesali perbuatannya. Inilah tipologi kaum lemah iman, yang memadu pahala dan dosa dalam satu rongga dada. Seusai shalat shubuh mereka menonton tayangan ghibah, mereka berjilbab tapi ikhtilath, berjanggut namun genit, lantang bertakbir namun fasih pula berlama-lama dalam interaksi tak penting dengan lawan jenis yang ajnabi.Sungguh tersiksa batin yang hidup dalam kondisi demikian. Jiwa yang terus menerus dalam penyesalan (nafsu allawwaamah), terjebak antara perasaan hina dan keinginan menjadi mulia. Pribadi-pribadi seperti ini senantiasa terkungkung dan terpenjara dalam dimensi dirinya sendiri. Tak usahlah diajak berpikir dan bercita-cita besar, toh mereka masih belum selesai berurusan dengan aneka persoalan remeh-temeh; virus merah jambu, jiwa pedantic (hubbu azhzhuhur) yang selalu ingin menonjolkan diri, dan berbagai perangai lainnya yang merefleksikan kekanak-kanakan jiwa.
Kelompok terakhir adalah mereka yang selalu berlomba dalam kebaikan. Mereka tak lagi berfikir sebatas halal-haram. Bagi kaum ini, segala sesuatu dinilai dengan kelembutan hati dan kepekaan iman. Mereka terbang dalam ketinggian akhlaq, jauh melewati batas-batas hukum, beyond fiqh. Yang haram pastilah mereka benci, perkara syubhat dijauhi, bahkan terhadap yang halal pun mereka berzuhud. Suatu ketika Umar ibn Khatthab ra membagi-bagikan ghanimah atas kemenangan melawan Persia. Umar tertarik pada sebuah karpet yang sungguh indah. Betapa wajar dan sederhananya potret keinginan itu; seorang khalifah agung berkehendak untuk memiliki sepotong permadani. Tak satu pun sahabat yang tidak setuju, selain bahwa bagian dari ghanimah juga merupakan hak beliau, Umar juga dipandang sebagai zahid yang terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Namun seketika Al-Faruq tersentak. Pria yang ditakuti para setan ini merasa malu untuk memiliki ketertarikan semu pada dunia. Ia memang bukan al-ma’shum layaknya Rasulullah SAW, tapi tarbiyah Sang Nabi telah melekat erat di sanubarinya. Lalu ia memotong karpet itu menjadi bagian-bagian kecil dan membagi-baginya kepada para sahabat (Husain Haykal, Umar al-Faruq). Permadani Persia itu sudah tak utuh lagi, begitu juga keinginan Umar untuk memilikinya juga telah teratasi. Kini Umar tak lagi merasa malu pada Allah, pada Rasul dan pada dirinya sendiri. Ya, bagi jiwa pendamba surga, rasa malu memang menjadi hiasan diri. Sebab sabda Sang Nabi SAW; “Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kalimat pertama kenabian adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (HR Bukhari, lihat dalam Ibn Daqieqil ‘Ied, Syarhul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah).
Andree, S.IP, M.A.
Staf Ahli Bidang Hubungan Luar Negeri
Pengurus Pusat KAMMI
0 komentar:
Posting Komentar